Oleh: Dr. KH. Muhyiddin Khotib, M.HI.

Sekretaris Majelis Masyayikh

Pesantren sebagai subkultur masyarakat Indonesia yang oleh Gus Dur secara teknis didefinisikan dengan tempat di mana para santri tinggal adalah lembaga pendidikan Agama Islam tertua di Indonesia. Kemunculannya bermula seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara serta keikutsertaan peran komunitas pesantren dalam mendokumentasikan berbagai sejarah Indonesia. Dengan kata lain, sistem pendidikan pesantren yang sampai hari ini terkenal dengan keunikan, ciri khas dan nilai serta tradisinya dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang asli (indigenous) dan telah mengakar kuat pada masyarakat muslim Indonesia.

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa secara embrional, eksistensi pesantren sudah ada dan berkembang bahkan sejak sebelum berdirinya kerajaan Islam Demak. Terdapat banyak sekali penyebar Islam dari kalangan Walisongo generasi awal seperti Raden Rahmatullah, Raden Makdum Ibrahim, dan Raden Paku Maulana Ainul Yaqin yang terbukti telah mewariskan Ampel Denta (1417 M), Bonang Lasem (1439 M), dan Giri Kedaton (1452 M). Seluruh warisan tersebut merupakan tempat-tempat di mana beliau semua menggembleng para santri, menyebarkan akidah Ahlusunah Wal Jamaah, dan mentransformasikan beberapa nilai penting seperti; keimanan, keislaman, akhlaqul-karimah wasathi (moderat), tasamuhi (toleran), manhaji (metodologis) tsaqafi (berkebudayaan), dan tadriji (bertahap). Dalam pesantren kala itu juga diajarkan hikmah-hikmah dan keilmuan Islam lainnya melalui pengkajian turats (kitab kuning) dengan sistem tradisional (halaqah-halaqah). Maka tak heran kiranya jika nilai yang dikembangkan oleh masyarakat santri hingga hari ini berakar pada tradisi dan nilai-nilai yang berbasis pada manhaj al-salaf, seperti cinta Tanah Air (Hubb al-Wathan).

Kecintaan kaum pesantren terhadap tanah air dan berbagai perannya dalam menjaga serta melestarikan NKRI telah terbukti dan tercatat sejak era kolonialisme. Perlawanan kaum santri terhadap kolonial dilakukan dengan beberapa strategi: ada kalanya melalui pemberontakan dan aksi frontal seperti lewat peristiwa Perang Padri (1819-1832 M), Perang Diponegoro (1825-1830 M), Perang Aceh (1873-1912 M), Perlawanan Cianjur (1885 M), bahkan terus berlanjut sampai masa penjajahan Jepang pada Abad ke-20; ada pula dengan cara bersikap nonkooperatif dan melawan secara diam-diam, atau bahkan “sekadar” memilih mengasingkan diri ke pelosok-pelosok terpencil di luar jangkauan kolonial.

Pada masa prakemerdekaan, kaum sarungan juga ikut berpartisipasi dalam berbagai gerakan perjuangan untuk meraih kemerdekaan, salah satunya dengan bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air). Selain itu, masyarakat santri, yaitu KH. Wahid Hasyim yang merupakan tokoh pembaharu pesantren, selain tergabung dalam BPUPKI dan ikut serta mempersiapkan kemerdekaan, juga merupakan bagian dari panitia sembilan yang berperan dalam merumuskan dasar negara. Bahkan pada Pasca kemerdekaan, sebagai salah satu tonggak penting peran santri pada masa revolusi adalah lahirnya Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang berisi seruan jihad bagi setiap santri untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada masa perkembangannya pesantren mulai menyelenggarakan pendidikan dengan sistem yang beragam dengan menyesuaikan tuntutan zaman, mulai dari menyelenggarakan sistem klasikal atau bahkan sampai menerima pendidikan umum, akan tetapi roh pesantren sampai hari ini tetap berjalan di atas relnya selaku lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga pemberdayaan masyarakat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2019. Ketiga mandat tersebut menunjukkan rekognisi (pengakuan) negara terhadap keberadaan pesantren sekaligus tanggung jawabnya, memberikan peluang kepada pesantren untuk menggali kembali peran kesejarahannya guna memperkuat perannya saat ini dan nanti. Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2019 mengatur bahwa fungsi pendidikan pesantren adalah bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan dari amanat tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi pendidikan pesantren merupakan pengakuan terhadap kesetaraan kelembagaan pesantren dengan satuan pendidikan lain di luar pesantren, mulai dari jenjang pendidikan dasar/ula dan menengah/wustha-‘ulya, (Pendidikan Diniyah Formal dan Muadalah: Salafiyah dan Mu’allimin) sampai dengan pendidikan tinggi (Ma’had Aly).

Penulis: Dr. KH. Muhyiddin Khotib, M.HI. | Editor: Ahsanul Arifin

Rekomendasi Opini